Bersama tapi tak
berhubungan. Itulah tema salah satu lukisan pada pameran lukisan di Bentara
Budaya Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu. Lukisan itu memotret peran
teknologi dalam kehidupan.
Pada lukisan itu
digambarkan sekelompok orang duduk bersama. Masing-masing asyik dengan
ponselnya. Mereka bersama, tetapi tak saling terhubung. Masing-masing
terhubung dengan seseorang atau sesuatu entah di mana. Itu potret teralienasi
dalam kebersamaan. Tragis!
Kondisi hidup yang
dipotret pelukis itu semakin kita rasakan. Teknologi komunikasi yang memuja
efisiensi dan efektivitas merapuhkan perjumpaan fisik. Padahal, belajar dari
Emanuel Levinas, perjumpaan wajah bisa menajamkan empati hingga menumbuhkan
tanggung jawab moral atas nasib sesama.
Ketika perjumpaan
fisik merapuh, hakikat komunikasi pun runtuh. Komunikasi sepihak tanpa
perjumpaan wajah meminimalkan hingga menihilkan klarifikasi. Perlahan tapi
pasti kita belajar untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang kita wartakan.
Pun bila warta itu berpotensi menghancurkan kehidupan. Hasrat menggosip
seperti menemukan ruangnya.
Kondisi hidup hari ini
akibat ketidakmampuan kita mengelola dampak teknologi pernah menggelisahkan
Albert Einstein. Ia bertutur, "I
fear the day that technology will surpass our human interaction. The world
will have a generation of idiots." Adakah kini kita sedang
melahirkan generasi dungu, tuna-empati, dan bebal tanggung jawab moral? Apa
yang bisa diajarkan kepada anak-anak kita demi menyelamatkan kehidupan
mereka?
Ragam kegelisahan
Kondisi relasi
manusiawi di atas hanya satu dari banyaknya dampak kegagapan kita mengelola
dinamika hidup akibat sinergi teknologi dan bisnis yang kian menderas. Paus
Fransiskus adalah satu dari banyak tokoh dunia yang menyadari terancamnya
harmoni dan keberlanjutan hidup yang bermartabat akibat gagap mengelola
dinamika itu.
Pada banyak
perjumpaan, beliau menawarkan sejumlah resolusi. Terhadap karut-marut pola
relasi antar-manusia, beliau mengajarkan untuk berhenti menggosip, dan
memberikan waktu serta perhatian kepada orang lain. Kita diajak untuk berani
berjarak dengan sarana komunikasi dan duduk bersama.
Paus sadar dunia ini
sedang diancam oleh kebencian yang ditebar subur oleh komunikasi sepihak tak
bertanggung jawab. Salah satunya perilaku menggosip.
Penebar kebencian
membiarkan konsumen wartanya dalam kebingungan hingga akhirnya tersesat.
Kecurigaan karena informasi tak utuh dan nihil klarifikasi sering menjadi
target. Maka, Paus juga mengajak untuk
tetap berteman dengan mereka yang tidak setuju dengan kita dan
berhenti menghakimi sesama. Dengan cara ini, ruang curiga karena pembodohan
diciutkan.
Akibat masifnya penjejalan
iklan yang canggih, hasrat konsumsi kita kian menggila. Pola konsumsi
cenderung beralih dari butuh ke sekadar ingin. Dampak pola konsumsi ini
sungguh memprihatinkan. Sikap ugahari dan hidup bersahaja tak lagi dihayati.
Lihatlah betapa gampang kita membuang makanan. Padahal, teknologi komunikasi
mengabarkan begitu banyak orang di belahan dunia lain yang kelaparan.
Gambaran lain atas realitas ini bisa diunduh dari Youtubedengan menggunakan
kata kunci "di balik makanan sisa".
Atas realitas itu, Paus
mengajak untuk makan secukupnya dan menghabiskan makanan yang telah diambil,
berbelanja barang yang sederhana atau hidup bersahaja, dan menjumpai mereka
yang miskin. Sesungguhnya membuang makanan dengan percuma adalah wujud
merampok hak orang miskin yang kelaparan. Perjumpaan dengan orang miskin akan
menajamkan empati dan tanggung jawab moral kita pada sesama. Maka, program
tinggal di dan bersama kaum miskin pada banyak sekolah itu pantas dilanjutkan
demi kualitas anak didik, juga demi menyelamatkan kehidupan.
Perlu langkah nyata
Agaknya, ada baiknya
kita mengajarkan resolusi semacam ini dalam hidup sehari-hari, khususnya
dalam dunia pendidikan. Resolusi ini bisa dihayati sebagai upaya nyata
anak-anak kita terlibat merawat dan menyelamatkan bumi ini, bumi mereka.
Tawaran resolusi ini
memang remeh. Itu ajaran sederhana. Tetapi, resolusi ini praktis dan bisa
kita ajarkan kepada anak-anak kita. Resolusi ini membantu anak-anak kita
menjadi tuan atas nasibnya, bukannya hanyut dalam derasnya laku egoisme, tunamoral
serta empati karena rapuhnya perjumpaan. Resolusi ini adalah langkah nyata
melibatkan anak-anak kita untuk merawat dan menyelamatkan kehidupan ini,
kehidupan mereka.
Sidharta Susila ;
Pendidik di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah
KOMPAS, 30 Januari
2016