Pelibatan publik kini
salah satu fenomena paling penting di bidang pendidikan dan kebudayaan di
negeri ini. Tiga kejadian ini jadi
buktinya. Pertama, pelibatan orangtua siswa dalam dialog dengan pendidik
untuk menangkal bibit terorisme sejak dini di sekolah, sebagaimana
disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada hari
Minggu, 17 Januari 2016. Anies minta agar wali kelas berkomunikasi dengan
orangtua untuk bisa mengetahui sejak dini apabila ada gejala-gejala
penyimpangan, termasuk kekerasan (seperti terorisme), narkoba, dan
pornografi.
Kedua, saat terjadi
bencana kabut asap tahun lalu, saat Anies banyak berinteraksi langsung dengan
kepala sekolah, guru, dan orangtua siswa melalui tatap muka, telepon, dan
media sosial.
Ketiga, saat belasan
tokoh pemerhati pendidikan dari 10 provinsi yang tergabung dalam Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan berdialog dengan para pejabat
eselon I dan II Kemendikbud di Jakarta, 7 dan 8 Januari silam.
Publik dan demokrasi
Komunikasi dua arah
dalam bentuk dialog dengan orangtua, peminat masalah pendidikan dan
kebudayaan itu merupakan salah satu terobosan yang baru muncul pada era
Kemendikbud sekarang. Ini merupakan langkah nyata Kemendikbud dalam
melaksanakan salah satu dari tiga rencana strategisnya, yakni peningkatan
efektivitas birokrasi dan pelibatan publik. Dua rencana strategis lain adalah
penguatan pelaku pendidikan dan kebudayaan serta peningkatan mutu dan akses
pendidikan dan kebudayaan.
Pelibatan publik
memang bukan hal mudah karena sebelum ini pemerintah seperti berjalan
sendiri, dan nyaris jarang (bila tidak bisa dikatakan "tidak
pernah") mendengar masukan dari masyarakat. Itu sebabnya, dialog antara
Kemendikbud dan masyarakat sipil seperti di atas bakal diselenggarakan secara
rutin setiap tiga bulan dengan agenda yang fokus (Kompas, 9/1).
Penerapan komunikasi
dua arah itu, baik yang dilakukan secara interpersonal seperti tatap muka
maupun lewat media dan jejaring sosial, tentu dimaksudkan untuk menunjukkan
kepada publik luas bahwa Kemendikbud ingin jadi salah satu kementerian paling
terbuka.
Dari sudut pandang
ilmu komunikasi, sikap terbuka (transparan) terhadap pemangku kepentingan itu
otomatis akan semakin meningkatkan kepercayaan publik. Ini jadi kian penting
di saat menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada oknum pemerintah
(otoritas) dan politisi belakangan ini.
Sesungguhnya,
menurunnya kepercayaan publik kepada otoritas dan politisi telah sedemikian
meluas sehingga menjadi perhatian di banyak negara demokratis. Dan, pelibatan
publik dianggap sebagai sebuah solusi potensial terhadap krisis kepercayaan
itu, khususnya di banyak negara Eropa. Idenya adalah bahwa publik seharusnya
dilibatkan secara penuh pada proses kebijakan dengan cara sang otoritas
mendengarkan pandangan publik dan menghimpun partisipasi mereka. Bukannya
sekadar menganggap publik sebagai penerima keputusan yang pasif.
Sebenarnya,
partisipasi publik tidak hanya meningkatkan kepercayaan terhadap otoritas dan
memperbaiki efektivitas politik warga negara, tetapi sekaligus menguatkan
nilai-nilai demokratis dan bahkan memperbaiki kualitas keputusan dan
kebijakan. Saking pentingnya masalah pelibatan publik ini, banyak negara
telah menjadikannya sebagai UU yang harus dilaksanakan pada semua level
pemerintahan.
Di sejumlah negara di
dunia, perkara pelibatan publik menjadi bagian dari klausul hak asasi manusia
(HAM) atau manifestasi hak kebebasan berserikat. Bahkan, negara seperti
Belanda, Jerman, Denmark, dan Swedia, telah mengatur masalah kebebasan
memperoleh informasi dalam sistem hukum mereka sejak abad pertengahan. Di
Inggris, pemberdayaan warga negara diterapkan pada semua jenjang pemerintahan
melalui konsultasi dan riset dalam bentuk kelompok terfokus atau forum
diskusi secara daring. Di AS, banyak kebijakan mengharuskan adanya dengar
pendapat masyarakat (public hearing)
di depan para eksekutif pemerintah. Di AS, hak publik untuk melakukan petisi
menjadi bagian dari First Amendment
sejak 1791.
Manfaat pelibatan publik
Sebenarnya konsep
pelibatan publik bukan saja penting bagi pemerintah. Sejak lama para ahli
komunikasi menyarankan agar setiap organisasi, termasuk korporasi, organisasi
nirlaba, swasta, dan pemerintah, untuk selalu mementingkan publik mereka. Itu
sebabnya, petugas hubungan masyarakat disebut "public relations", sementara orang marketing selalu
memperhitungkan "keinginan pasar" dan menekankan strategi yang customer-oriented.
Memang, secara umum,
dari kacamata komunikasi, pendekatan interaktif model begitulah yang paling
baik, melebihi pendekatan proaktif, apalagi yang reaktif. Bahkan, ahli
seperti Grunig sangat menekankan bahwa setiap organisasi yang ingin sukses
haruslah berdialog dengan publik dalam bentuk dialog (yang dua arah itu).
Dalam dunia maya sekarang
ini dialog itu diwujudkan melalui interaktivitas atau semacam partisipasi
audiens (engagement), agar
organisasi tahu apa yang sebenarnya menjadi minat dan keinginan publik (atau
"pasar") mereka. Tak ada gunanya Anda punya ratusan ribu follower di Twitter atau rekan dan
penggemar di Facebook apabila Anda tidak berdialog dengan mereka. Ahli krisis
komunikasi Timothy Coombs (2007) juga menyatakan, perusahaan yang paling
punya peluang terhindarkan dari krisis adalah yang paling banyak melakukan
komunikasi dua arah dengan publiknya.
Tak aneh, sebab
perilaku yang terbuka seperti pelibatan publik itu memang memberi banyak
manfaat. Selain penguatan demokrasi, keterbukaan seperti itu juga
meningkatkan akuntabilitas penyelenggara negara dalam berbagai perkara sosial
(termasuk pendidikan dan kebudayaan) dan lingkungan. Lewat tindakan itu, kita
bisa yakin pemerintah menunjukkan tanggung jawab terhadap tindakan mereka dan
bersikap responsif terhadap masalah yang ada di tengah masyarakat.
Menggarisbawahi
pentingnya akuntabilitas itu, pelibatan publik oleh Kemendikbud itu tidak
hanya dapat memaksimalkan anggaran yang dikelolanya, tetapi sekaligus
mengontrol dana yang diberikan negara kepada daerah, yang jumlahnya berkali
lipat dibandingkan anggaran Kemendikbud itu sendiri.
Tak cuma membantu
kontrol anggaran, kerja sama melibatkan publik juga sejatinya akan membantu
meredam konflik sosial yang mungkin muncul ketika kebijakan itu diterapkan,
meningkatkan efisiensi dan efektivitas program, serta memperbaiki kualitas
proses. Sebab, pendapat yang berbeda dan masukan tentang masalah yang ada di
tengah masyarakat dapat menjadi kajian untuk perbaikan dalam proses
pengambilan keputusan.
Selain itu, juga
meningkatnya legitimasi karena masyarakat tidak akan merasa dimanipulasi atau
jadi curiga. Masyarakat juga makin yakin bahwa tujuan berbagai terobosan yang
dilakukan Kemendikbud memang semata-mata demi kebaikan masa depan anak-anak
bangsa.
Kesimpulan
Pelibatan publik
sendiri bukan tanpa kendala, seperti adanya berbagai perbedaan pandangan dari
tiap-tiap pihak, tetapi hal itu bisa disiasati dengan baik apabila
Kemendikbud melakukan yang berikut ini.
Pertama, Kemendikbud
tidak saja harus menyediakan kesempatan berdialog, tetapi juga menyajikan
informasi yang relevan dan komprehensif, dan sejak awal memberikan alokasi
terhadap sumber daya yang ada secara memadai kepada publiknya. Sebab, masukan
tadi dapat membantu Kemendikbud sendiri dalam membuat rencana dan menerapkan
proses yang lebih baik serta memiliki legitimasi.
Kedua, mengingat
adanya keterbatasan Kemendikbud, agar pelibatan publik itu lebih efektif, ia
perlu disempurnakan dengan membangun partnership
bersama pihak-pihak yang terpengaruh oleh adanya kebijakan atau program baru
sehingga dapat membantu penyelesaian berbagai masalah yang ada.
Ketiga, berhubung
masyarakat sipil lazimnya kurang memiliki kapasitas untuk perform secara
maksimal, Kemendikbud perlu memberdayakan mereka agar dapat melihat kelayakan
sebuah sasaran, mengevaluasi dampak, dan mengidentifikasi pelajaran apa yang
bisa digunakan untuk masa depan.
Keempat, karena
kemungkinan tidak semua bagian masyarakat terwakili dalam partisipasi publik
yang digagas, Kemendikbud perlu menyiasatinya lewat proses seleksi yang
adekuat sehingga ada keterwakilan pandangan publik yang beragam.
Syafiq Basri Assegaff ;
Pengajar Komunikasi dan Peneliti
di Paramadina Public Policy
Institute
KOMPAS, 01 Februari
2016