Jakarta - Saya sering kali mendengar keluhan dari sejumlah kawan mengenai negara Indonesia. Dimata mereka, tidak ada yang benar terkait dengan negara Indonesia. Semuanya salah. Semuanya buruk. Namun, tidak satu pun dari mereka yang berani atau berencana meninggalkan Indonesia.
Saat menonton televisi, membaca koran, mendengar radio, hal yang sama saya tangkap. Indonesia begitu buruk. Indonesia ibarat terkena penyakit ganas, yang sebentar lagi mati. Sekali lagi, tidak satu pun menyatakan diri akan meninggalkan Indonesia.
Saat menonton televisi, membaca koran, mendengar radio, hal yang sama saya tangkap. Indonesia begitu buruk. Indonesia ibarat terkena penyakit ganas, yang sebentar lagi mati. Sekali lagi, tidak satu pun menyatakan diri akan meninggalkan Indonesia.
Biasanya, jika kita sudah tidak suka dengan sesuatu, ada dua pilihan yakni memperbaikinya atau meninggalkannya. Sungguh konyol tidak menyukai sesuatu, tapi terus mengeluhkannya sepanjang waktu. Tapi itulah pilihannya.
Yang mengatakan Indonesia buruk, bukan hanya mereka yang terkalahkan dari sistem liberalisme ekonomi yang sudah mengobrak-abrik Nusantara sejak pertengahan abad ke-19. Juga mereka yang sebenarnya makan dan minum dari uang negara Indonesia.
Misalnya, setelah rezim Soeharto jatuh, membuat ruang kekuasaan menjadi sangat terbuka. Orang kaya maupun orang miskin masuk menjadi bagian dari kekuasaan. Mereka ini sebelumnya para pengeluh dan menilai Indonesia sangat buruk.
Tidak ada perubahaan yang signifikan dilakukan mereka selama duduk dalam ruang kekuasaan. Menariknya mereka pun turut mengeluh, dan mengatakan Indonesia buruk. Mereka lebih berperan sebagai juru bicara 'kemarahan' rakyat. Mereka pun rela bermain drama saling memarahi, tanpa melakukan perubahaan dari apa yang dipersoalkan. Yang penting bagi mereka, mampu mengekspresikan kemarahan rakyat, terutama melalui ruang-ruang media massa.
Media massa pun, khususnya televisi, paling suka menampilkan orang-orang dalam lingkaran kekuasan yang suka mengeluh atau marah-marah. Alasannya orang-orang inilah yang disukai masyarakat.
Sementara di bawah, para pelayan masyarakat alias pegawai negeri sipil, selalu mengeluh soal sistem pemerintahan yang berlangsung. Mulai dari soal gaji yang rendah, hingga sistem keuangan yang ruwet dan lamban. Termasuk pula soal perilaku para pimpinan mereka di kantor. Tetapi mereka jarang masuk kantor, atau tidak mengerjakan apa-apa bila berada di kantor. Sementara uang negara yang menggaji mereka setiap bulan terus menjadi pemenuh kebutuhan makan-minum istri dan anak-anaknya, atau memenuhi kebutuhan lainnya, termasuk membeli barang mewah dan liburan.
Di tengah keluhan itu, mereka sama sekali tidak pernah menyampaikan keinginan buat berhenti menjadi pegawai negeri atau minggat dari Indonesia. Bahkan mereka siap melakukan korupsi bila ada peluang.
Banyak mahasiswa juga ikut mengeluhkan negara Indonesia. Tapi banyak juga nilai pengetahuannya tentang Pancasila jeblok. Selama mengeluh itu, mereka membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain. Yang kagum dengan Amerika Serikat maka membandingkannya dengan negeri Paman Sam itu. Yang memuja sosialisme selalu membandingkannya dengan negara-negara di Amerika Latin. Yang suka negara-negara Arab, membandingkannya dengan kebudayaan di sana. Yang memuja Jepang tak pernah menilai bangsa yang pernah menjajah Nusantara itu jelek, semua dari Jepang terbaik.
Banyak mahasiswa juga ikut mengeluhkan negara Indonesia. Tapi banyak juga nilai pengetahuannya tentang Pancasila jeblok. Selama mengeluh itu, mereka membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain. Yang kagum dengan Amerika Serikat maka membandingkannya dengan negeri Paman Sam itu. Yang memuja sosialisme selalu membandingkannya dengan negara-negara di Amerika Latin. Yang suka negara-negara Arab, membandingkannya dengan kebudayaan di sana. Yang memuja Jepang tak pernah menilai bangsa yang pernah menjajah Nusantara itu jelek, semua dari Jepang terbaik.
Namun, sekali lagi, sebagian besar dari mereka tidak mau pindah dari Indonesia, atau menjadi warga negara dari negara-negara yang mereka kagumi tersebut. Perilaku para mahasiswa ini juga dilakoni para anggota dewan, yang umumnya para pengeluh sejak rezim Soeharto. Setiap ada persoalan, setelah mengeluh, mereka pun memperbandingkan Indonesia dengan negara lain.
Lain lagi dengan aktifis lembaga swadaya masyarakat. Mereka tidak hanya mengeluh, tapi juga melaporkan apa yang mereka keluhkan kepada para pendonor, yang rata-rata berasal dari negara asing.
Pokoknya, pada saat ini terkesan tiada hari tanpa mengeluhkan Indonesia. Dan hampir semua dari kita dengan bangga menyatakan Indonesia sudah sekarat atau bobrok. Buat mengetahuinya, perhatikan setiap ada persoalan di Indonesia, seperti adanya tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di luar negeri, teroris, bencana lumpur, video porno, termasuk adanya bencana alam seperti tsunami atau gunung api meletus. Juta keluhan dan miliaran kemarahan menghujat Indonesia.
Dan, sebenarnya esai saya ini juga sebuah keluhan. Saya juga salah satu dari warga negara Indonesia yang tidak pernah berpikir meninggalkan negara ini.
Memang tidak semua bangsa Indonesia mengeluh. Mereka ini umumnya para pelaku ekonomi. Uniknya, justru mereka yang sering berangkat ke luar negeri, buat menghabiskan uang yang mereka ambil dari berbisnis atau mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia.
Kaum Feodal yang Krisis
Beberapa kawan yang mengeluh tersebut, akhirnya memberikan jawaban agar dirinya menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia dan menikmati keindahan alam Nusantara ini. Jawaban mereka itu umumnya menjadi orang kaya, lalu punya banyak pendukung atau pengakuan atas identitas, dilayani, bebas bertindak, kebal hukum, tidak perlu banyak belajar, (yang lelaki) ingin memiliki banyak istri, serta tidak melakukan kerja yang berat. Ya, layaknya posisi seorang raja atau pangeran.
Sedikit sekali yang ingin hidup kaya tapi melakukan pekerjaan berat, banyak pendukung tapi hidup miskin, atau bebas bertindak tapi tidak kebal hukum. Pokoknya bila ada yang kurang dari 'persyaratan' di atas, mereka akan tetap mengeluh.
Menariknya lagi, apa cerminan dari keinginan tersebut? Mereka pun mencontohkan sosok atau leluhur mereka yang dapat disebut sebagai raja atau pangeran di masa lalu. Tidak ada sosok yang rendah atau sederhana menjadi cerminan mereka. Bila perlu mengarang sendiri silsilah keluarga yang terkait dengan sosok para raja, atas bantuan ahli sejarah.
Kesimpulan saya, sebagian besar dari kita yang mengeluh itu sebenarnya cerminan kaum feodal yang mengalami krisis. Yakni krisis ekonomi dan krisis identitas. Seperti saya yang mengeluhkan Indonesia setiap hari, tapi tidak mau meninggalkan Indonesia, lantaran saya masih berharap suatu waktu saya akan menjadi raja atau pangeran di Nusantara ini. Saya juga tidak akan menolak pihak-pihak yang ingin bekerjasama dengan saya, meskipun merugikan banyak orang, asal saya menjadi raja.
Dan hati kecil saya pun merasa takut pindah ke negara lain, sebab saya yakin akan mengalami hidup yang sulit. Pertama saya tidak punya kemampuan berkomunikasi (bahasa asing) yang baik, tidak punya keahlian buat mencari pendapatan, takut bekerja keras dan bernasib buruk seperti tenaga kerja migran, serta kecilnya peluang menjadi raja atau pangeran seperti leluhur saya di Nusantara.
Ibaratnya saya tidak mampu memerankan diri sebagai Barack Obama di Amerika Serikat, tapi ingin hidup seperti Barack Obama di Indonesia. Lantaran belum kesampaian atas keinginan tersebut, ya, saya hanya marah-marah, mengeluh, dan tidak malu menyatakan Indonesia ini merupakan negara yang paling buruk dan bobrok di dunia.
Mungkin saya harus belajar dengan pohon nangka, ikan betok, ikan gabus, atau pohon duku, yang terus tumbuh, memproduksi buahan atau keturunan di Indonesia, meskipun mereka tidak pernah diberi penghargaan atau kekayaan setelah memberikan gizi yang baik bagi bangsa Indonesia.
Tapi, sikap ibarat tumbuhan atau ikan tersebut tetap menjadi perdebatan; apakah sebagai sosok yang benar-benar bersyukur dan terus menyebarkan manfaat, atau sosok yang tidak peduli dengan persoalan yang ada lantaran tidak kritis? Entahlah. Saya hanya ingin berhenti mengeluh.
*) Taufik Wijaya, wartawan detikcom dan pekerja seni. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.
Pokoknya, pada saat ini terkesan tiada hari tanpa mengeluhkan Indonesia. Dan hampir semua dari kita dengan bangga menyatakan Indonesia sudah sekarat atau bobrok. Buat mengetahuinya, perhatikan setiap ada persoalan di Indonesia, seperti adanya tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di luar negeri, teroris, bencana lumpur, video porno, termasuk adanya bencana alam seperti tsunami atau gunung api meletus. Juta keluhan dan miliaran kemarahan menghujat Indonesia.
Dan, sebenarnya esai saya ini juga sebuah keluhan. Saya juga salah satu dari warga negara Indonesia yang tidak pernah berpikir meninggalkan negara ini.
Memang tidak semua bangsa Indonesia mengeluh. Mereka ini umumnya para pelaku ekonomi. Uniknya, justru mereka yang sering berangkat ke luar negeri, buat menghabiskan uang yang mereka ambil dari berbisnis atau mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia.
Kaum Feodal yang Krisis
Beberapa kawan yang mengeluh tersebut, akhirnya memberikan jawaban agar dirinya menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia dan menikmati keindahan alam Nusantara ini. Jawaban mereka itu umumnya menjadi orang kaya, lalu punya banyak pendukung atau pengakuan atas identitas, dilayani, bebas bertindak, kebal hukum, tidak perlu banyak belajar, (yang lelaki) ingin memiliki banyak istri, serta tidak melakukan kerja yang berat. Ya, layaknya posisi seorang raja atau pangeran.
Sedikit sekali yang ingin hidup kaya tapi melakukan pekerjaan berat, banyak pendukung tapi hidup miskin, atau bebas bertindak tapi tidak kebal hukum. Pokoknya bila ada yang kurang dari 'persyaratan' di atas, mereka akan tetap mengeluh.
Menariknya lagi, apa cerminan dari keinginan tersebut? Mereka pun mencontohkan sosok atau leluhur mereka yang dapat disebut sebagai raja atau pangeran di masa lalu. Tidak ada sosok yang rendah atau sederhana menjadi cerminan mereka. Bila perlu mengarang sendiri silsilah keluarga yang terkait dengan sosok para raja, atas bantuan ahli sejarah.
Kesimpulan saya, sebagian besar dari kita yang mengeluh itu sebenarnya cerminan kaum feodal yang mengalami krisis. Yakni krisis ekonomi dan krisis identitas. Seperti saya yang mengeluhkan Indonesia setiap hari, tapi tidak mau meninggalkan Indonesia, lantaran saya masih berharap suatu waktu saya akan menjadi raja atau pangeran di Nusantara ini. Saya juga tidak akan menolak pihak-pihak yang ingin bekerjasama dengan saya, meskipun merugikan banyak orang, asal saya menjadi raja.
Dan hati kecil saya pun merasa takut pindah ke negara lain, sebab saya yakin akan mengalami hidup yang sulit. Pertama saya tidak punya kemampuan berkomunikasi (bahasa asing) yang baik, tidak punya keahlian buat mencari pendapatan, takut bekerja keras dan bernasib buruk seperti tenaga kerja migran, serta kecilnya peluang menjadi raja atau pangeran seperti leluhur saya di Nusantara.
Ibaratnya saya tidak mampu memerankan diri sebagai Barack Obama di Amerika Serikat, tapi ingin hidup seperti Barack Obama di Indonesia. Lantaran belum kesampaian atas keinginan tersebut, ya, saya hanya marah-marah, mengeluh, dan tidak malu menyatakan Indonesia ini merupakan negara yang paling buruk dan bobrok di dunia.
Mungkin saya harus belajar dengan pohon nangka, ikan betok, ikan gabus, atau pohon duku, yang terus tumbuh, memproduksi buahan atau keturunan di Indonesia, meskipun mereka tidak pernah diberi penghargaan atau kekayaan setelah memberikan gizi yang baik bagi bangsa Indonesia.
Tapi, sikap ibarat tumbuhan atau ikan tersebut tetap menjadi perdebatan; apakah sebagai sosok yang benar-benar bersyukur dan terus menyebarkan manfaat, atau sosok yang tidak peduli dengan persoalan yang ada lantaran tidak kritis? Entahlah. Saya hanya ingin berhenti mengeluh.
*) Taufik Wijaya, wartawan detikcom dan pekerja seni. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.