Perguruan tinggi negeri (PTN) dapat membuka lebih dari delapan jalur masuk dengan biaya bervariasi hingga di atas Rp 175 juta setiap calon. Calon dapat berkali-kali ikut seleksi asal membeli formulir pendaftaran yang harganya Rp 175.000-Rp 800.000 setiap jalur seleksi.
Hal itu membenarkan penilaian komersialisasi pendidikan. Yang pertama-tama diburu adalah pemasukan dari menjual formulir pendaftaran. Berikutnya pemasukan dari menjual kursi, sekaligus masukan dari kegiatan kuliah.
Tidak ada tempat bagi yang berasal dari kelompok miskin secara ekonomi. Kuota untuk mereka terbatas. Benarlah metafora sinis, pendidikan dasar dan menengah milik masyarakat, pendidikan tinggi milik konsumen.
Benih komersialisasi pendidikan tinggi ditaburkan lewat kebijakan perguruan tinggi badan usaha milik negara (PT BHMN). Kebijakan yang awalnya meliputi lima PTN itu sekarang sudah tujuh PTN. Lembaga PTN harus mandiri dan otonom, tidak saja ilmu, tetapi juga dana.
Persetujuan DPR atas UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang siap diundangkan menggarisbawahi penilaian komersialisasi pendidikan. Atas nama tanggung jawab pembiayaan pemerintah dan masyarakat, ke-7 PTN berstatus BHMN yang kemudian diikuti PTN lain—termasuk swasta—berlomba cari duit.
Tradisi intelektualitas, jati diri yang seharusnya dikembangkan, dikesampingkan. Perguruan tinggi tidak lebih dari pabrik sarjana yang dijaring masuk lewat pengukuran tebal tipisnya kantong dan kemampuan menyetor uang.
Ketersediaan dana yang memadai salah satu faktor dihasilkannya lulusan bermutu. Akan tetapi, ketika semangat otonom-mandiri diterjemahkan simpel dalam faktor dana, terjadi degradasi praksis pendidikan di negeri ini.
Simplifikasi maksud baik otonomi-mandiri perlu ditinjau. Peraturan pemerintah tentang PT BHMN perlu dikaji dengan hati jernih, jauh dari kepentingan politik praktis, kecuali demi generasi masa depan.
Kekeliruan terletak pada konsep awal dalam memaknai lembaga pendidikan. Di satu pihak nirlaba, di lain pihak dipajak. Kekeliruan itu pun ditabalkan lewat UU BHP.
Sudah waktunya sindiran komersialisasi perlu dijelaskan secara jujur, jernih, jauh dari kepentingan politik praktis.
Demokrasi deliberatif dari Jurgen Habermas, demokrasi yang mengikutsertakan pertimbangan publik, kita jadikan alat ukur perlunya uji materi suatu undang-undang, perlu tidaknya sebuah undang-undang yang disetujui DPR diundangkan. Pengujian ini bisa memperkecil kemungkinan terjadinya produk hukum tidak prorakyat.
Dalam hal tuduhan komersialisasi pendidikan, kalau upaya-upaya itu tidak dilakukan, hemat kita wacana pro dan kontra akan terus terjadi. Kalau ini berkepanjangan, sebagai bangsa kita sibuk sendiri, alias jalan di tempat.