Pada tahun 1900, saat produksi secara
massal di pabrik dimulai, setiap barang pada tahap akhir produksi akan
diperiksa untuk menentukan produk itu cacat atau tidak. Itulah awal
proses sistematis terkait dengan pengendalian mutu.
Lebih dari 100
tahun kemudian, teknik pengendalian mutu telah amat berkembang.
Paradigma lama yang menekankan pengecekan setiap produk di akhir proses
produksi telah lama ditinggalkan. Ironisnya, paradigma ini masih
diterapkan dalam pengendalian mutu pendidikan kita.
Dalam minggu-minggu ini, jutaan anak
didik kita akan dicek melalui ujian nasional (UN). Dari hasil UN ini
akan ditentukan, seorang siswa merupakan produk cacat (tidak lulus) atau
sebaliknya. Metodologi kuno yang telah lama ditinggalkan ini, di
samping tak mangkus dan tak sangkil, juga tak manusiawi.
Kendati banyak pandangan yang menolak
pelaksanaan UN, bahkan Mahkamah Agung dalam putusannya untuk perkara
Nomor 2596 K/Pdt/2008 telah melarang pemerintah menyelenggarakan UN,
pemerintah sampai saat ini tetap melaksanakannya. Pemerintah telah
bekerja keras mencari justifikasi paradigma yang telah usang ini. Salah
satu justifikasi yang digunakan pemerintah adalah UN membuat siswa stres
dan, hal ini, pada gilirannya akan membuat siswa giat belajar.
Dalam kasus ini, sekali lagi pemerintah
masih menganut pola pikir kuno sebab untuk membuat siswa giat belajar
seyogianya dengan menciptakan pembelajaran yang menarik dan berbagai
fasilitas dan teknologi yang tersedia saat ini, serta memandang dan
memberlakukan siswa sebagai manusia dengan kekhasannya masing-masing.
Karena kinerja suatu lembaga pendidikan
diukur dari keberhasilan siswanya pada UN, proses pendidikan telah
dominan diwarnai untuk mencapai ukuran keberhasilan yang digunakan UN.
UN merupakan ujian yang dilaksanakan dengan format pilihan berganda.
Format semacam itu sama sekali tak mampu mengukur kemampuan dan potensi
akademis yang dimiliki siswa secara holistis. UN hanya mampu mengukur
kemampuan berpikir sederhana dan kemampuan mengingat. Akibatnya, proses
pendidikan diarahkan untuk membuat siswa mampu berpikir sederhana serta
mampu mengingat berbagai katalog fakta.
Elemen kompetensi terabaikan
Berbagai elemen kompetensi dan sikap
amat penting seperti kemampuan bernalar dan berpikir kompleks, rasa
ingin tahu, sikap kritis, sikap kreatif, kejujuran, sikap adil, dan
kemampuan komunikasi terabaikan dalam proses pembelajaran. Secara
gamblang Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB, mengatakan bahwa UN
perusak budaya bernalar paling efektif (Kompas, 21/2). Dengan situasi
semacam ini, kita mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang mampu
melaksanakan pekerjaan rutin, lemah nalar, minim kreativitas, dan kurang
komunikatif. Hal ini akan membawa konsekuensi sangat serius menghadapi
tantangan masa depan yang kian berat.
Bayangkan bagaimana Indonesia pada tahun
2045 saat negara kita seratus tahun. Generasi yang lahir tahun ini saat
itu akan ada pada usia 30-an tahun. Pada saat itu populasi Indonesia
diperkirakan melebihi 290 juta, sekitar 50 juta lebih banyak daripada
populasi sekarang. Sumber energi minyak telah lama habis, diperkirakan
cadangan minyak cukup untuk 11 tahun lagi. Karena itu, sumber energi
telah beralih ke sumber energi lain, seperti gas, batubara, panas bumi,
dan energi terbarukan lain.
Tanpa kebijakan drastis, lahan pertanian
tidak akan cukup memenuhi kebutuhan pangan kita. Ketergantungan kepada
impor akan makin tinggi. Tantangan generasi masa depan akan jauh lebih
berat daripada yang kita hadapi saat ini. Apakah kompetensi yang
diberikan sistem pendidikan saat ini mampu menghadapi tantangan yang
makin berat ini?
Di samping perubahan alami di atas, kita
ada di tengah revolusi informasi. Revolusi ini dimotori oleh
perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi bergerak, serta sistem
posisi global. Revolusi ini mengubah cara kita berinteraksi yang telah
menghilangkan dimensi ruang. Teknologi ini memungkinkan penyebaran
informasi secara langsung menjangkau banyak orang. Kita ada pada era
Facebook, Twitter, Wikipedia, Google, e-library, Skype, dan sebagainya.
Kolaborasi dalam pengembangan ilmu dan
diseminasi informasi berjalan dengan sangat mudah. Smartphone dan tablet
telah menjadi jendela bagi kita berinteraksi dengan masyarakat dunia
dan memperoleh informasi dari sumber mana pun. Kemampuan mengingat
(menghafal) berbagai katalog fakta, yang saat ini merupakan komponen
utama sistem pendidikan kita, tak relevan lagi. Revolusi ini akan
membawa perubahan terhadap substansi dan metodologi pembelajaran.
Dalam waktu tak terlalu lama, buku teks
akan digantikan oleh tablet. Tablet akan dapat menyediakan informasi
yang jauh lebih kaya daripada buku teks. Berbeda dengan buku teks yang
hanya menyampaikan informasi statis menggunakan kalimat dan gambar,
tablet memperkayanya dengan audio, video, animasi, dan sebagainya.
Untuk mempelajari tata surya, misalnya,
saat ini siswa harus baca buku dan mungkin melihat gambarnya. Dengan
tablet, siswa dapat melihat animasi pergerakan semua planet dalam sistem
tata surya dan dapat melihat posisi tiap planet pada waktu tertentu.
Ini akan jadi media pembelajaran amat efektif di masa depan.
Amat intensif
Saat ini pengembangan media pembelajaran
dengan menggunakan teknologi ini amat intensif. Suatu organisasi
nirlaba di Amerika Serikat menyediakan flexbook yang gratis, fleksibel,
dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Pada saat jadi gubernur
California, Arnold Schwarzenegger mengumumkan akan mengganti buku sains
dan matematika dengan media pembelajaran flexbook. Korea Selatan telah
mendeklarasikan akan mengganti semua buku dengan teks digital pada 2013.
Tidak dapat disangkal bahwa diperlukan
kurikulum baru dalam sistem pendidikan kita. Kurikulum itu haruslah
mampu mempersiapkan siswa menghadapi tantangan masa depan yang makin
berat. Begitu pula, kurikulum itu harus mampu beradaptasi dengan
memanfaatkan teknologi yang tersedia yang membuat proses pembelajaran
lebih efektif. Perancangan kurikulum baru seyogianya didahului oleh
suatu kajian akademis yang komprehensif tentang kelemahan kurikulum saat
ini, situasi yang ada saat ini, serta berbagai skenario perkembangan
yang mungkin terjadi di masa depan. Dengan pemahaman inilah dapat
dirancang kompetensi untuk setiap jenjang pendidikan. Tanpa melakukan
hal ini, mustahil dihasilkan kurikulum yang mampu menyiapkan generasi
masa depan menghadapi tantangan yang makin berat.
Kurikulum 2013 sepertinya jauh dari
harapan di atas. Hal ini agaknya karena tidak dilakukannya kajian
akademis yang komprehensif dalam pengembangan kurikulum ini.
Pengembangan kurikulum bersifat reaktif dan landasan pemikiran yang
dangkal. Misalnya argumen penggabungan pelajaran IPA dan Bahasa
Indonesia di kelas I sampai dengan IV SD. Pada dokumen Uji Publik
Kurikulum 2013 disebutkan alasannya karena ada beberapa istilah di IPA
yang memiliki arti yang berbeda dengan istilah-istilah umum pada Bahasa
Indonesia, misal gaya, usaha, dan daya.
Amatlah naif jika penggabungan atau
pemisahan pelajaran didasarkan hanya karena masalah terminologi.
Pelajaran IPA di tingkat SD akan dapat dirancang dengan menghindari
penggunaan terminologi formal keilmuan. Pada saat negara lain
mengembangkan pelajaran sains menjadi sains dan teknologi, kita malah
mereduksi pelajaran itu. Kualitas Kurikulum 2013, serta rencana
implementasinya yang amat tergesa-gesa tanpa persiapan matang mulai
tahun ini, merupakan ancaman amat serius yang akan memperburuk kualitas
pendidikan kita.
Situasi pendidikan semacam ini amat
membahayakan masa depan generasi mendatang. Tanpa kualitas pendidikan
yang baik, generasi masa depan tidak akan mampu bersaing pada era
globalisasi. Globalisasi membuka peluang bagi setiap anak bangsa
berkompetisi tak hanya di tataran domestik, tetapi juga internasional.
Globalisasi akan bermanfaat hanya jika kita mampu bersaing dengan bangsa
lain. Ketakmampuan bersaing akan membuat bangsa kita kalah bersaing,
baik di luar maupun di negara sendiri.
Kalau itu yang terjadi, jika saat ini
sebagian bangsa kita menjadi pekerja kelas bawah di negara orang sebagai
TKI, bisa-bisa nanti banyak di antara bangsa kita jadi pekerja kelas
bawah di negeri sendiri, melayani dan mengabdi kepada tuan-tuan bangsa
lain. Untuk mencegah hal ini, perlu perubahan radikal dalam sistem
pendidikan kita. Perubahan itu harus diawali dengan penghapusan UN serta
perancangan ulang kurikulum baru yang didasari atas kajian komprehensif
dengan memperhatikan perkembangan teknologi. Perubahan itu hanya
mungkin kalau kita menyadari saat ini kita tengah menghadapi darurat
pendidikan nasional.
Sumber : Kompas.comAmril Aman Kepala Bagian Riset Operasi Departemen Matematika IPB dan Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta.Tulisan ini pendapat pribadi