Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud)
Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah diminta untuk ditahan dulu
(di-hold). Keputusan itu diambil Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah
meminta penjelasan Mendikbud Muhadjir Effendy. Pengertian ditahan dulu tidak
berarti presiden meminta pembatalan permendikbud (Jawa Pos, 15 Juni).
Konsekuensinya, Permendikbud 23/2017 belum bisa diimplementasikan mulai tahun
pelajaran baru 2017–2018 sebagaimana dicanangkan Mendikbud.
Perdebatan Permendikbud Hari Sekolah memang luar biasa.
Pemberitaan di media sosial (medsos) turut memperuncing perdebatan. Perang
opini pihak yang pro dan kontra terhadap permendikbud begitu masif. Di
samping ada yang mengapresiasi positif kebijakan lima hari sekolah dengan
durasi delapan jam per hari, tak sedikit pula yang melontarkan kritik.
Hebatnya, kritik sudah mulai dikemukakan sebelum
permendikbud diterbitkan pada 12 Juni 2017. Sebagian pengkritik juga
mengaitkan permendikbud dengan full day school (FDS). Padahal, sudah sejak
lama mereka mengelola sekolah dengan konsep FDS. Mereka juga alumni
pendidikan keagamaan model FDS.
Jika dibaca lebih utuh, permendikbud sama sekali tidak
menyinggung FDS. Permendikbud justru menekankan pentingnya internalisasi
nilai-nilai karakter peserta didik melalui kegiatan intrakurikuler dan
ekstrakurikuler. Pada konteks itulah, terbitnya permendikbud harus dilihat
dalam suasana keprihatinan semua elemen terhadap karakter bangsa.
Rasanya semua orang sedih tatkala mengamati kasus
separatisme, radikalisme-terorisme, intoleransi, korupsi, narkoba,
pornografi-pornoaksi, tawuran masal, dan kekerasan terhadap anak. Apalagi,
dalam sejumlah insiden itu, pelakunya diketahui kelompok terpelajar. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa sebagai bangsa kita memiliki keprihatinan terhadap
tergerusnya nilai-nilai karakter dari unsur-unsur di lembaga pendidikan.
Karena spiritnya adalah untuk menginternalisasikan
nilai-nilai karakter peserta didik, Permendikbud 23/2017 tampak sejalan
dengan agenda Nawacita pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Poin kedelapan
rumusan agenda Nawacita tegas ingin mewujudkan ”Penguatan revolusi karakter
bangsa melalui budi pekerti dan pembangunan karakter peserta didik sebagai
bagian dari revolusi mental”. Rumusan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015–2019 juga mengungkapkan pentingnya penguatan pendidikan
karakter pada anak-anak usia sekolah di semua jenjang pendidikan untuk
memperkuat nilai-nilai moral, akhlak, dan kepribadian peserta didik dengan
memperkuat pendidikan karakter yang terintegrasi dalam mata pelajaran. Karena
itu, penting melihat permendikbud dalam perspektif yang lebih positif.
Permendikbud Hari Sekolah sejatinya dimaksudkan untuk
memastikan implementasi program penguatan pendidikan karakter (PPK). Sejak
digulirkan pada 2016, kegiatan sosialisasi dan pelatihan PPK sudah menjangkau
banyak sekolah sasaran (piloting). Data Kemendikbud menyebutkan, pada 2016
sasaran program PPK mencapai 538 sekolah (270 SD dan 268 SMP). Pada 2017,
sasaran program PPK ditargetkan mencapai 9.830 sekolah (6.199 SD dan 3.631
SMP).
Bukan hanya sekolah, pejabat terkait dinas pendidikan
provinsi dan kabupaten/kota juga sudah memperoleh sosialisasi PPK. Bahkan,
kini sudah banyak daerah yang resmi mengajukan diri sebagai pelaksana PPK.
Mereka siap melaksanakan Permendikbud Hari Sekolah sebagai bagian
menyukseskan PPK. Dinas Pendidikan Jawa Timur termasuk salah satu yang siap
menerapkan sekolah lima hari (Metropolis Jawa Pos, 15 Juni). Sejumlah dinas
pendidikan kabupaten/kota di Jatim juga sudah lama menerapkan kebijakan
sekolah lima hari.
Sementara itu, pejabat dan madrasah di lingkungan
Kementerian Agama (Kemenag) belum tersentuh sosialisasi program PPK. Karena
itu, dapat dipahami jika Kemenag yang membawahkan ratusan ribu lembaga
pendidikan keagamaan seperti madrasah, madrasah diniyah, (madin), pesantren,
dan taman pendidikan Alquran (TPA/TPQ) merasa khawatir. Yang dikhawatirkan
adalah dampak kebijakan lima hari sekolah terhadap eksistensi pendidikan
keagamaan yang dikelola masyarakat. Kekhawatiran itu muncul karena ada
kesalahan pemahaman mengenai kewajiban guru dan peserta didik berada di
sekolah delapan jam per hari.
Kekhawatiran tersebut semestinya tidak terjadi jika ada
komunikasi yang baik antara Kemendikbud dan Kemenag. Pada konteks inilah ikhtiar
untuk saling bertegur sapa antara Kemendikbud dan Kemenag mutlak perlu
dilakukan. Itu penting agar tidak ada perasaan saling ditinggalkan. Juga
tidak ada prasangka bahwa kebijakan yang satu berdampak negatif pada yang
lain. Persoalan yang juga sensitif adalah eksistensi madin dan pesantren.
Dalam hal ini Mendikbud menegaskan bahwa kebijakan lima hari sekolah justru
bisa memperkuat institusi pendidikan keagamaan yang dikelola masyarakat.
Durasi waktu delapan jam per hari tidak harus dimaknai
guru dan peserta didik selalu berada di kelas. Sebagian aktivitas peserta
didik bisa dilakukan di madin, pesantren, dan lembaga lain yang dikelola
masyarakat. Pembelajaran keagamaan di madin dan pesantren sekaligus menjadi
bagian kegiatan sekolah. Dengan begitu, guru madin dan pesantren berhak
memperoleh gaji dari alokasi anggaran sekolah. Praktik itulah yang dinamakan
pendidikan karakter berbasis masyarakat. Praktik baik tersebut sekaligus
menjadi contoh sinergi tripusat pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Biyanto ; Anggota Dewan Pendidikan Jatim; Dosen UIN Sunan
Ampel Surabaya; Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim
JAWA
POS, 16
Juni 2017
0 comments:
Posting Komentar