Kalau dirasa-rasakan, media sosial dekat
sekali dengan mendacity. Kosakata bahasa Inggris mendacity berasal dari
kosakata Latin mendacitas, artinya kebohongan. Seseorang yang
terus-menerus berbohong disebut memiliki karakter mendacity, karakter
pembohong. Frustrasi kita menghadapi pembohong patologis seperti itu.
Kini, seiring kian akrabnya orang dengan
media sosial, makin diakrabi istilah hoax alias kabar bohong. Banyak
kosakata baru seakan melekat dengan media sosial: hoax, hater, buzzer,
follower, crowd, dan lain-lain.
Mungkin karena sifat medianya,
digerakkan saraf jari-jari yang lama-lama terlatih, kemampuan jari-jari
mereproduksi dan mengotak-atik informasi dan image akhirnya melebihi
kecepatan kerja otak. Secara sederhana, mekanisme tubuh seperti itu
disebut refleks. Orang menyerap dan menanggapi informasi secepat gerak
refleks. Cepet bingitz, istilah remaja dan orang-orang berumur yang
kekanak-kanakan. Tak perlu dipikir.
Ditambah kualitas literasi yang rendah
dengan minat baca nomor dua terendah di dunia, jadilah otak yang tak
terlatih dengan mudah diperdaya kebohongan. Otak yang terus diperdaya
kebohongan akhirnya menyesuaikan diri, mengembangkan kesanggupan dirinya
sendiri untuk tak kalah memproduksi kebohongan.
Bersemai kebohongan-kebohongan, dari
kecil sampai besar, dari main-main seperti humor tak lucu di WhatsApp
sampai yang serius dan berpotensi memecah belah persaudaraan bangsa.
Telah lahir kelas sosial pembohong: the mendacity class. Kelas sosial
ini terdiri atas penderita patologi sosial sebagai pembohong tadi
ataupun mereka yang pantas dikasihani, mayoritas yang dikarenakan
kebodohan dan tingkat pendidikan yang rendah menjadi korban pembodohan.
Pembohong besar mengangkat diri sebagai pemimpin besar, bicara
berapi-api tentang hakikat langit seolah bicara kasunyatan, menyangkal
segalanya, termasuk bahwa Bumi bulat. Ada juga yang jadi melankolis
berlebihan. Oh, kenapa jadi begini..
Tidak semuanya salah manusia. Teknologi
selalu membawa manusia pada fase evolusi lanjut. Revolusi digital telah
membawa manusia pada fase pasca kasunyatan, post-truth. Yang sebelumnya
diyakini banyak orang sebagai kebenaran tengah dibongkar, sebagaimana
otoritas kepakaran, expertise, kini diolok-olok dan dianggap tidak ada.
The death of expertise, Mas, kata Mbak Sarie mengutip ahli di Amerika.
Amatir-profesional sama saja, pintar-bodoh sami mawon. Dari kerabat
ataupun teman-teman yang punya anak baru tahu bahwa sekarang ini tidak
ada anak sekolah tidak naik kelas seperti zaman dulu. Semua naik, semua
lulus.
Kecepatan informasi berlangsung
bersamaan dengan ledakan jumlah penduduk dan kemudahan mobilisasi
manusia. Tempat-tempat sepi dan alam perawan diburu para fundamentalis
selfie. Tahun-tahun terakhir ini, selain ledakan jumlah penduduk, juga
ditandai ledakan pelancong. Libur beberapa hari, tempat-tempat tertentu
dibanjiri fundamentalis liburan. Bali, Yogya, Bandung, menyusul
kota-kota lain, seperti Cirebon, di ambang krisis air tanah dikarenakan
perkembangan hotel-hotel murah untuk mengakomodasi turisme massal. Belum
krisis lingkungan yang lain, termasuk sampah.
Bagaimana dengan perkembangan media?
Dulu populer istilah pers sebagai anjing penjaga, the press is a
watchdog. Kini media-media atau medium menurut pakar media Marshall
McLuhan menentukan isi-telah berubah. Isi atau konten, menurut McLuhan,
hanyalah “sekerat daging yang dibawa pencuri (dalam hal ini maksudnya
medium tadi) untuk mengalihkan perhatian anjing penjaga di otak”.
Watchdog baginya bukan anjing penjaga yang menggonggongi lembaga
pemerintah, legislatif, atau hukum, melainkan anjing penjaga sebagai
penjaga kesadaran otak kita. Sesuatu yang ada dalam diri kita sendiri.
Media digital membuat yang nyata dan
tidak nyata kabur batasnya. Kita harus terus-menerus memelihara
kewaspadaan anjing penjaga di otak kita, the watchdog of the mind.
Kesadaran harus dipelihara. Eling. Jangan mau otak kita dikadali
kebohongan.
Bre Redana ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 29 Januari 2017
0 comments:
Posting Komentar