Meskipun pemerintahan Presiden Joko
Widodo-Jusuf Kalla dalam masa lebih dari satu tahun, pemerintahannya
belum menunjukkan rencana dan implementasi konkret revolusi mental,
anggaplah pemerintah serius dengan gagasan ini. Paling tidak, alur
silogismenya lurus dan konsisten sehingga revolusi mental dirasa sebagai
sebuah kesimpulan valid.
Revolusi mental digagas Joko Widodo
(Kompas, 10/5/2014) dengan premis bahwa selama 16 tahun menjalankan
reformasi kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Ekonomi
semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur, tetapi
kenapa masyarakat kita malah bertambah galau, bukannya bertambah
bahagia?
Menurut Jokowi, pembangunan kita belum
menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang
menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia
pada cita-citanya. Agar perubahan benar-benar bermakna,
berkesinambungan, dan sesuai cita-cita Proklamasi Indonesia yang
merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Jalan tol nir-jalan pikiran
Meski demikian, selama pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berlangsung, kita menyaksikan
kesenjangan antara proposisi yang dinyatakan dan agenda yang dijalankan.
Pemerintahan ini tampak lebih getol membangun tol daripada membangun
jalan pikiran bangsa. Padahal, jalan pikiran merupakan isi mental utama
yang menghubungkan kita dengan masa depan yang dicitakan dan karenanya
perlu lebih dahulu dirawat.
Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi,
dan berkepribadian dalam budaya yang jadi cita-cita pemerintah
merupakan masalah dan bermula dari jalan pikiran atau mindset bangsa.
Kebangkitan bangsa-bangsa maju pada umumnya dimulai dari upaya
memelihara nalarnya sehingga berkhidmat terhadap akal sehat. Kehidupan
dan kemajuan duniawi tampaknya tersusun atas hukum-hukum yang rasional
dan akan berkembang hanya jika dipahami dan dijalani sesuai dengan hukum
tersebut.
Mengutamakan pembangunan fisik sembari
seadanya mengembangkan jiwa dan pikiran, selain tak seirama dengan
“Indonesia Raya”, juga melawan hukum nalar kemajuan. Pembangunan
seperti itu pada akhirnya hanya akan meneruskan siklus absurditas
sisifus seperti selama ini: membangun untuk menyaksikan
kejatuhan/kemerosotan.
Dengan revolusi mental sebagai gerakan
nasional seperti dimaksud penggagasnya, seyogianya pemerintah
memprioritaskan upaya pencerdasan kehidupan bangsa sebagai jalan
membentuk pola pikir bangsa. Ironisnya, upaya pencerdasan bangsa melalui
pendidikan dalam berbagai ranahnya dewasa ini masih diliputi berbagai
masalah mendasar.
Orientasi pembelajaran yang dijalankan
sebatas mengoptimalkan kemampuan berpikir tingkat rendah. Pikiran para
murid setiap hari dijejali oleh beragam data pengetahuan yang-entah
berguna atau tidak-dihafal dan diuji di kemudian hari. Sedikit sekali
para pelajar dilibatkan dalam proses berpikir tingkat tinggi, seperti
menalar, menganalisis, dan memecahkan masalah yang konon sebagai salah
satu kecakapan utama yang dibutuhkan untuk hidup dan sukses di abad
ke-21. Hasil Programme for International Student Assessment
(PISA) 2012 menunjukkan kuatnya kemampuan berpikir murid Indonesia pada
tingkat rendah dan lemahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sementara
negara maju, seperti Singapura dan Korea Selatan, menunjukkan kemampuan
sebaliknya.
Berbekal kemampuan berpikir tingkat
rendah, memasuki abad ke-21 dengan era globalisasinya yang penuh
persaingan akan menjadikan bangsa ini seperti keledai yang tak memiliki
kewibawaan, kemandirian, dan jati diri. Gejala itu mulai tampak dan
terasa ketika berbagai kebijakan dan gerak budaya kita berorientasi
kepada standar-standar “asing”, bahkan mungkin untuk kepentingan asing,
dengan argumen “demi daya saing”.
Memberikan perhatian besar kepada bidang
pendidikan selain sebagai tanda pemerintah berpikir maju juga
merupakan keharusan untuk penyelamatan bangsa. Berbagai problem
pendidikan kita dewasa ini sudah sangat parah dan memerlukan Presiden
turun tangan karena besaran dan substansinya telah melampaui kapasitas
departemental atau kementerian. Jika kenyataan ini terus diabaikan ,
bukan saja akan berakibat pada involusi dalam dunia pendidikan,
melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kembali ke pangkalan
Bangsa Indonesia dengan pendidikannya
mengalami disorientasi di tengah pusaran arus perubahan yang demikian
cepat. Program dan operasi pendidikan dewasa ini seperti tersedot oleh
pesona pragmatisme untuk bertarung dalam era globalisasi. Pendidikan
makin jauh meninggalkan pangkalan, menuju entah ke mana. Alhasil,
bangsa yang cerdas seperti ditetapkan dengan arif oleh para pendiri
bangsa, setelah tujuh puluh tahun merdeka makin jauh panggang dari api.
Bangsa ini barangkali kualat karena
begitu lama tak merawat wasiat “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan lebih
menyibukkan diri pada pembangunan ekonomi. Padahal, kecerdasan
merupakan substansi yang menentukan martabat kemanusiaan. Jika saja
“mencerdaskan kehidupan bangsa” dicermati sejak dulu, kiranya bangsa ini
tak jadi seperti ini: para murid kita tak hanya unggul pada kemampuan
berpikir tingkat rendah, tetapi juga unggul pada penalaran tingkat
tinggi.
Berpikir tingkat tinggi merupakan
hakikat berpikir yang sesungguhnya karena membutuhkan seluruh potensi
dan kemampuan kognisi. Pembedaan “tinggi-rendah” yang didasarkan pada
taksonomi Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) bukan dimaksudkan
menunjukkan hierarki kepentingan, tetapi bertujuan mempermudah secara
didaktik-metodik pembelajaran. Berpikir tingkat rendah merupakan
fondasi dan persyaratan untuk masuk dan menjalankan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Intinya, strategi pembelajaran haruslah mengarah kepada
pencapaian kemampuan berpikir, bukan hanya mengisi pikiran.
Salah satu kelemahan utama pendidikan
kita sejak dahulu adalah masalah metodologi yang dipergunakan para guru
dalam pembelajaran. Untuk kesekian kalinya, terkait persoalan ini, saya
mengangkat hasil penelitian Prof CE Beeby (1987) yang menyatakan bahwa
guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan dan
keterampilan metodik yang minimal, terbatas pada buku teks yang
dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya dari apa yang
pernah dipelajarinya dulu di sekolah. Setelah menguraikan sesuatu
masalah, guru menghabiskan bagian terbesar jam pelajarannya untuk
mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan tulis dan
menunggu murid menyalinnya. Catatan itulah yang dipelajari murid dan
menjadi bahan ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu
menumbuhkan potensi seorang murid, dan pengaruh sekolah yang menjemukan
serta tak imajinatif tersebut tetap terasa ketika seseorang menjadi
dewasa dan memimpin masyarakatnya.
Singkirkan kepentingan politis
Di antara upaya yang dapat mengembangkan
kemampuan dan kecakapan berpikir adalah pembelajaran bersifat dialogis
atau partisipatif, atau apalah namanya. Pembelajaran harus melibatkan
secara aktif para murid dalam proses berpikir, utamanya melalui berbagai
ekspresi, seperti verbal dan gerak tubuh. Hal ini penting karena secara
filosofi setiap tindakan sadar senantiasa terdapat intensionalitas yang
meniscayakan rasionalitas.
Secara normatif, pemerintah telah tepat
untuk memperbaiki praktik kelas, antara lain melalui UU Sistem
Pendidikan Nasional (UU No 20/2003) dengan memperbarui definisi
pendidikan dan UU Guru dan Dosen (UU No 14/2005) menetapkan
profesionalisme dengan kompetensi guru. Sementara itu, wacana tentang
model pembelajaran partisipatif yang menyenangkan dan yang efektif
berkembang pesat di Tanah Air. Buku-buku seperti revolusi pembelajaran,
akselerasi pembelajaran, guru efektif, pembelajaran dan pengajaran
kuantum banyak dijajakan.
Sayangnya, keputusan normatif dan
berbagai wacana pembaruan pendidikan dalam strategi implementasinya
terlalu banyak diwarnai kepentingan politis sehingga tidak efektif. Yang
muncul dan menyita energi malah persoalan sertifikasi yang terkait
dengan tunjangan profesi dan kurikulum. Ide-ide pembelajaran modern
yang berkembang tak terserap dan peningkatan kompetensi guru yang
seharusnya memerlukan intervensi kualitatif terabaikan.
Kini, terkait pencerdasan bangsa yang
bermuara pada meningkatkan kemampuan berpikir, pemerintah-khususnya yang
menangani bidang pendidikan-diharapkan fokus pada tantangan
meningkatkan kinerja para pendidik melalui pendekatan insentif dan
motif. Pemerintah telah memberikan tunjangan profesi yang relatif baik
pada para pendidik, tetapi sejauh ini pemerintah belum mengelola motif
secara efektif. Diperlukan sebuah model intervensi untuk meningkatkan
motivasi yang sekaligus jadi pendorong peningkatan kompetensi pedagogi
dan profesional bagi pendidik dalam jabatan dan calon pendidik sehingga
mereka dapat menjalankan pembelajaran yang dialogis seperti semangat
dari undang-undang.
Cetusan ide revolusi mental seyogianya
dijadikan titik balik ke pangkalan pendidikan kita untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dalam segala dimensinya. Pikiran bangsa ini telah
tumbuh bak semak-belukar menjadi rimba sehingga menutup berbagai jalan
kemajuan. Maka, jangan abaikan pendidikan.
Jadi, senyampang peringatan Hari
Pendidikan Nasional (2 Mei 2016) sebagai titik berangkat, pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya perlu mulai
membangun jalan (tol) pikiran bangsa untuk menghubungkan kita dengan
masa depan yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini.
Mohammad Abduhzen ; Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI |
KOMPAS, 02 Mei 2016