Mulai tahun ini hingga setidaknya
lima tahun ke depan ada ratusan ribu guru pegawai negeri sipil pensiun,
terutama di jenjang SD dan SMP. Ini bisa menjadi peluang untuk mengisi
sekolah dengan guru baru yang berkompetensi lebih baik dan kekinian.
Persoalannya, jumlah stok guru baru dengan spesifikasi itu masih terbatas.
Untuk mengisi kekosongan guru karena pensiun itu, pemerintah hendak
mengerahkan lulusan pendidikan profesi guru dan guru-guru dari sarjana
mengajar daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.
Seiring dengan itu, pemerintah
juga memperbaiki kualitas guru yang ada saat ini. Selama tiga tahun terakhir,
pemerintah telah menggenjot peningkatan kualitas kompetensi guru, mulai dari
uji kompetensi guru (UKG) untuk memetakan kualitas guru, pelatihan guru,
hingga pembenahan lembaga pendidikan tenaga kependidikan sebagai pabrik guru.
UKG, yang diawali dengan uji
kompetensi awal di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, untuk
1,6 juta guru diklaim penting karena pemerintah belum pernah memiliki
"peta" kualitas guru. Hasil UKG 2012 menunjukkan, nilai rata-rata
dari 1,3 juta guru hanya mencapai 47,84.
Tahun ini, pada era Mendikbud
Anies Baswedan, UKG kembali diadakan dengan 2.587.253 guru peserta yang sudah
divalidasi bisa ikut UKG, November lalu. Kali ini pesertanya semua guru,
bukan hanya guru pegawai negeri sipil. Kemdikbud bulat tekad akan
melaksanakan UKG ini setiap tahun seperti ujian nasional. Standar nilai
rata-rata akan dinaikkan setiap tahun dari skor 5,5 tahun ini menjadi 8,0
pada 2019.
Pemerintah berjanji, tidak akan
ada vonis lulus atau tidak lulus dan hasilnya tidak akan memengaruhi
tunjangan profesi guru. Nilai itu hanya akan menjadi dasar pemberian
pelatihan setelah UKG, yang berbeda bagi setiap guru. Hasil UKG secara
nasional akan keluar akhir Desember karena masih ada UKG susulan hingga 17
Desember. Namun, dari pengamatan di lokasi ujian di beberapa daerah, masih
banyak guru yang meraih skor nilai di bawah 50.
Sejak awal ide UKG muncul,
pro-kontra tak pernah sepi. Sebagian menilai ini langkah tepat, sebagian lagi
menilai tidak tepat jika kompetensi guru hanya dinilai dari ujian yang
berlangsung dua jam saja. Apalagi jika UKG dipakai untuk mengukur kompetensi
akademik, pedagogi, sosial, dan kepribadian. Poin yang diprotes sesungguhnya
terletak pada penggunaan kata "uji kompetensi". Kalau kompetensi
yang dimaksud, hal itu juga harus meliputi penilaian kinerja guru di kelas saat
mengajar.
Penilaian kinerja guru itulah yang
sebenarnya lebih memberi gambaran utuh tentang kualitas kompetensi guru.
Pasalnya, yang dinilai adalah praktik guru saat mengajar. Harapannya, akan
bisa dilihat apakah murid memahami apa yang disampaikan guru. Adapun UKG
hanya menguji pengetahuan atau penguasaan teori.
UKG ini tidak eksklusif hanya kita
yang menjalankan, tetapi juga berjalan di Australia dan Amerika Serikat.
Bahkan, di Australia, kerangka kompetensi dikembangkan pemerintah bersama
guru, organisasi profesi, lembaga pendidikan tinggi, dan serikat guru. Hanya,
bedanya, mereka menekankan pentingnya melihat cara guru mengajar di kelas.
Supervisi
lemah
Namun, kemudian ada persoalan
lain. Penilaian kinerja guru yang semestinya bisa menjadi peta kualitas guru
ternyata tidak sesuai harapan. Titik masalahnya ada pada proses menilai
kinerja yang tak semuanya obyektif dan rinci. Bahkan, kepala sekolah dan
pengawas sekolah yang semestinya bertanggung jawab mendampingi dan
mengevaluasi guru dan cara mengajarnya mayoritas tidak berfungsi dengan baik.
Baik kepala sekolah maupun
pengawas sekolah hanya fokus di administrasi saat menilai kinerja guru.
Banyak kepala sekolah bahkan merasa tidak mampu menilai secara profesional
dan memberi saran pedagogi kepada guru. Ini tidak mengherankan jika melihat
hasil uji kompetensi kepala sekolah dengan nilai rata-rata hanya 45,92 dan
pengawas sekolah 41,49. Dari lima kompetensi yang dinilai, dimensi supervisi,
yang menjadi tugas pokok kedua posisi itu, justru paling rendah (36,45).
Sementara kemampuan manajerial paling kuat (48,87).
Padahal, apabila kepala sekolah
dan pengawas sekolah menjalankan fungsinya dengan benar, Itje Chodidjah,
pelatih guru nasional dan anggota Dewan Pendidikan DKI Jakarta, meyakini,
tidak perlu ada UKG lagi. Setiap guru akan memiliki rekam jejak di kepala
sekolah dan pengawas sekolah sehingga peta kualitas guru di setiap pelosok
daerah akan ada dan senantiasa diperbarui.
"Susah mengubah pola pikir
pengawas sekolah. Mereka lebih suka berkutat dengan teori. Kalau harus
mendampingi guru, banyak yang enggan," kata Rahmat, pengawas sekolah di
Bogor.
Karena pengawas sekolah kerap tak
hadir mendampingi guru, harapan guru bertumpu pada kelompok guru, seperti
musyawarah guru mata pelajaran dan kelompok kerja guru. Mereka butuh tempat
untuk bertukar cerita atau berbagi pengalaman, masalah, ide, dan solusi.
Peran pengawas sekolah yang tampak
lemah ini barangkali karena kini posisi pengawas menjadi lebih seperti
birokrat dengan kantor di dinas pendidikan. Memang, kata Itje, pengawas
adalah jembatan antara birokrat dan sekolah.
Namun, menurut Rahmat,
sesungguhnya peran pengawas kini melemah karena mereka tak bisa lagi memberi
rekomendasi untuk promosi atau mutasi. Kini, tugas pengawas mendampingi guru
saja. Untuk itu, bagi Rahmat, yang bisa dilakukan ialah berkolaborasi dengan
kepala sekolah, mulai dari merencanakan pembelajaran supaya tahu materi apa
yang akan disampaikan dan pendampingan seperti apa yang bisa diberikan.
"Sekarang bagaimana caranya
bekerja sama menggerakkan kepala sekolah. Tugas kami akan mudah jika tahu
rencana atau visi pendidikan apa yang dikembangkan daerah," katanya.
Pabrik
"abal-abal"
Dua posisi penting di sekolah itu
menjadi semakin berat karena kualitas guru yang harus didampingi pun beragam.
Ini karena mereka lulus dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)
yang juga beragam atau bahkan dari kampus "abal-abal", meminjam
istilah pengamat pendidikan HAR Tilaar untuk menyebut lembaga bermasalah atau
tak berkualitas. Jumlah kampus guru abal-abal bertambah seiring meningkatnya
anak muda yang ingin menjajal profesi guru. Kini, profesi itu menggiurkan
karena ada tunjangan profesi guru.
Karena sudah "pisah
ranjang", butuh kerja sama Kemdikbud dengan Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk membenahi LPTK, mulai dari sistem
perekrutan calon mahasiswa hingga kurikulumnya. Jika beres, bahkan semestinya
LPTK bisa menangani UKG yang menurut HAR Tilaar merupakan tanggung jawab
LPTK, tetapi kini "direbut" Kemdikbud.
Langkah yang saat ini diambil
untuk mendapat guru berkualitas ialah memberlakukan pendidikan profesi guru
(PPG). Ini tidak mudah, seleksinya ketat.
Guru wajib mengajar di daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) satu tahun setelah strata satu melalui
program Sarjana Mendidik di daerah 3T dan PPG berasrama 6-12 bulan. Sistem
ini dinilai Amich Alhumami dari Bappenas dapat menjadi model peningkatan
kualitas guru. "Syaratnya, mahasiswa yang direkrut harus bibit
terbaik," ujarnya.
Sumber daya manusia terbaik yang
menjadi guru inilah kunci keberhasilan pendidikan di beberapa negara.
Kebijakan pemerintah sebagus apa pun tidak akan ada hasilnya jika tidak
diikuti kemauan guru untuk memperbaiki diri dengan mengikuti perubahan dunia
pendidikan, seperti memakai model pembelajaran aktif dan partisipatif. Zaman
kian cepat berubah dan lama-lama guru yang kaku tidak akan laku.
Luki Aulia ; Wartawan Kompas
KOMPAS,
17 Desember 2015