Tahun 2015 dunia pendidikan kita
sarat dengan cerita duka, bahkan mendung masih menggelayut di penghujung tahun
ini, karena berbagai persoalan pendidikan datang silih berganti, mungkin
memberi irama, tapi sumbang, mungkin memberi warna, tapi semakin menjadi kusam.
Kurikulum 2013 yang merupakan
peninggalan kebijakan pendidikan era M. Nooh tetap berjalan, sampai akhirnya
kebijakan baru lewat menteri yang baru sedikit memberi harapan pada awalnya,
melalui penghentian pelaksanaan K13 di sebagian sekolah, banyak pihak menyambut
baik keputusan tersebut meski banyak juga yang menyayangkan mengapa tidak
dihentikan saja secara total, toh sudah cukup terang benderang alasan-alasan yang
menyebabkan K13 belum cukup layak untuk diterapkan.
Dan kalau kita sebagai
pelaku-pelaku pendidikan mau jujur 100% pasti semua akan menjawab apa sih dampak
kemajuan dari pelaksanaan K13 yang sudah dirasakan ? apakah ada perubahan yang
signifikan ? apakah mindset kita sudah sesuai harapan K13 ?
Dengan lamanya bergulirnya waktu
dan besarnya Triliunan Rupiah yang telah keluar untuk membiayai K13 ini, kiranya
sangat perlu kita berhitung ulang, bukan hanya materi tetapi esensi dan dampak
perubahan itu.
Selain kurikulum, sertifikasi
guru menjadi salah satu hits persoalan pendidikan yang tak kunjung usai.
Sertifikasi guru yang dengan ideal ingin membentuk guru-guru yang profesional
nampaknya masih jauh panggang dari api, masih tidak sesuai harapan, ataukah
mungkin sudah keluar jalur ?
Filosofi VIP-kan guru – sekarang seolah
berubah menjadi Persulit Guru, guru yang seharusnya menjadi ujung tombak,
sekarang makin sering guru menjadi kambing hitam.
Beberapa tahap ketidakpercayaan
pemerintah terhadap guru, dan ketidakpercayaan ini akan selalu diulang-ulang
setiap tahun melalui Uji Kompetensi Guru (UKG) merupakan satu indikator bahwa
dunia guru selalu menjadi sorotan ketidakpercayaan dan kambing hitam terhadap
keterpurukan dunia pendidikan kita.
Apabila kita bisa membandingkan
secara rasio yang wajar, dunia guru hanyalah sebagian kecil dari sistem
pendidikan kita secara umum, karena disisi lain ada dunia Perguruan Tinggi/
dunia dosen, ada kurikulum, dan ada kebijakan yang secara umum mengatur sistem
pendidikan itu sendiri.
Sangatlah disayangkan apabila
persoalan pendidikan selalu berkutat hanya menyoroti dunia guru, yang notabene
guru juga manusia, yang punya rasa dan punya hati seperti orang-orang dengan
profesi yang lain.
Cobalah, seorang guru adalah
produk perguruan tinggi juga, sudah melalui tempaan kuliah beberapa tahun,
kemudian lulus dengan ijazah dan akta mengajar, tentunya bukanlah sebuah proses
yang serta merta dan instan. Kemudian melalui proses penerimaan PNS seorang
guru pada dasarnya sudah melalui proses seleksi yang kualified.
Setelah itu seorang guru
menjalani proses sertifikasi guru, lulus dan mendapatkan penghargaan melalui
tunjangan profesi, lalu guru menjalani UKG, lulus, dan UKG lagi, lulus lagi,
begitu seterusnya.... apalagi yang masih kurang ???
Predikat profesional bagi seorang
guru saat ini seolah hanya sebuah mimpi yang akan sangat sulit dicapai, melihat
regulasi dan sistem yang tidak wajar dan tidak fair. Seorang guru yang
mendapatkan penghargaan tunjangan profesi memang sebuah anugrah yang patut
disyukuri, tapi dalam batin seorang guru, ada perasaan yang tidak rela, ada
perasaan yang menyakitkan ketika proses uji kompetensi dan uji sertifikasi
menggunakan pola yang tidak transparan, baik sistem dan hasilnya.
Pemerintah cenderung
membesar-besarkan angka-angka yang di bawah standar, mereka-mereka yang katanya
tidak kualified, dengan menyodorkan berbagai peraturan dan ancaman hukuman.
Sementara angka-angka yang lulus, mereka-mereka yang mungkin kualified sama
sekali tidak pernah di ekspose dan diberikan reward.
Persoalan lain yang dihadapi
dunia pendidikan di tahun 2015 adalah persoalan pendataan pendidikan yang
dengan secara membabi buta telah membebani guru, tanpa urgensi yang jelas dan
cenderung mengganggu konsentrasi guru dalam proses belajar mengajarnya. Setiap
tahun rata-rata pendataan dilakukan lebih dari lima kali.
Pertanyaannya, kapankah dunia
pendidikan kita mempunyai database pendidikan yang tersentral, terintegrasi,
valid dan dapat dipakai semua komponen pendidikan ? jawabnya tergantung kemauan
pihak-pihak yang berperan sebagai penentu regulasi dan kebijakan. Harus ada
satu saja jenis pendataan yang menyeluruh, yang dapat dipakai semua pihak, up
to date, dan valid.
Di sisi sekolah harus
mengoptimalkan peran dan tupoksi Tata Usaha (TU) sebagai ‘pelayan guru’. Tata
Usaha sekolah harus diisi orang-orang yang mampu mengikuti perkembangan jaman,
sehingga pendataan pendidikan yang serumit apapun mampu diselesaikan oleh Tata
Usaha, tidak membebani profesi guru yang harus melayani siswa dalam
pembelajaran. Sekali lagi tupoksi TU adalah ‘melayani guru’ bukan sebaliknya.
Itulah sedikit catatan akhir
tahun dunia pendidikan kita,
Masih banyak persoalan-persoalan
lain yang urgen, tapi belum sempat dibahas dalam tulisan ini, misalnya :
1. Perlunya
mengembalikan mapel TIK dan KKPI ke dalam kurikulum pendidikan kita
2. Perlunya
mengurangi jumlah mata pelajaran di kurikulum kita , dan mengurangi beban
belajar siswa.
3. Perlunya
mensejahterakan guru tanpa harus membebani guru dengan persyaratan-persyaratan
yang ‘kurang profesional’
Mudah-mudahan dalam kesempatan
lain bisa kita perjelas....... Guru adalah ‘agen perubahan’
Selamat Tahun Baru 2016.
Purwokerto, 31 desember 2015
23.59
http://www.kompasiana.com/widiyanto/penghujung-tahun-pendidikan-kita_56868f8341afbd3216de5480